Lamuri

Lamuri

Lamuri

Lamuri satu kerajaan kuat di ujung Sumatera yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Aceh Darussalam. Bukti-bukti kehidupan istana masa lampau pun telah digali dan dipetakan. Sejarah tsunami purba juga terkuak di sini.

Kuta Lubok, sebuah bukit dengan ketinggian mencapai 40 meter di atas permukaan laut, yang menjadi aset Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada masa lalu bahkan masa akan datang. Bukit ini diapit dua teluk: Krueng Raya dan Lamreh.

Nelayan Lamreh banyak menghabiskan hari-harinya dengan melaut di perairan Selat Melaka yang merupakan halaman timur kampung mereka. Samudera Hindia di barat pun tak luput dari sasaran mata pencaharian penduduk.

Aktivitas nelayan diawali dengan melepas sauh boat yang ditambatkan di Pantai Leuen Lhok, pantai yang bersisian dengan Bukit Kuta Lubok. Pulang-perginya warga Lamreh dari laut lepas dapat terlihat jelas oleh warga Lamreh yang bercocok tanam di perbukitan.

Di bukit yang ditumbuhi banyak pohon cendana itu, mereka juga melepas ternak. Pekebun Lamreh kadang tidak hanya memanen hasil pertanian, tetapi memetik batu-batu nisan besar yang tumbuh di area ladang; tak jarang dikejutkan pecahan-pecahan keramik yang menyembul dari tanah kebun.

Ornamen batu nisan khas Lamuri | Rinaldi AD

Temuan-temuan itu dibawa pulang. Sedangkan batu-batu nisan dirusak untuk dijadikan batu asah; terlalu berat untuk mengangkatnya kecuali dipatahkan lebih dahulu. Sikap-sikap masyarakat ini pula yang kemudian dikhawatirkan para pecinta sejarah ketika menemukan jejak-jejak kerajaan kuno di Bukit Kuta Lubok.

Pada awal 1980-an, pecinta sejarah di Aceh mulaimencium jejak Lamuri. “Kami sudah memulai pembersihan Situs Lamuri di Lamreh sejak 1985 bersama kawan-kawan Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kebudayaan Aceh,” cerita Doktor Husaini Ibrahim. “Disingkat P3SKA,” sambung penulis buku Awal Masuknya Islam ke Aceh: Analisis Arkeologi dan Sumbangannya pada Nusantara ini.

Saat itu, Husaini Ibrahim yang baru saja meraih gelar sarjana di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Unsyiah, menjabat Sekretaris P3SKA.

Mereka biasanya bergerak dari Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma)

Darussalam, Banda Aceh, menempuh perjalanan 30 km ke timur ibu kota Provinsi Aceh. Di Bukit Kuta Lubok, mereka meraba-raba di antara semak belukar. Terlihat pula kebun cabai yang luas dikelilingi hutan.

Perlahan, mereka temukan sejumlah artefak kuno terkubur di lahan perbukitan. Setelah penemuan kecil itu, Husaini Ibrahim sering memboyong mahasiswa Sejarah FKIP Unsyiah ke Bukit Kuta Lubok ketika ia mengajar di almamaternya. Mahasiswanya sering diberi kuliah di lokasi tersebut. Proses ini berlangsung hingga 1995, di mana sang Ketua P3SKA meninggal dunia dan Husaini mengambil S3 Arkeologi di Universiti Sain Malaysia setelah meraih master arkeologi di Universitas Indonesia setahun sebelumnya.

Pengetahuan Situs Lamuri terungkap bukan dari perjalanan para pekebun Lamreh ke Bukit Kuta Lubok, melainkan dari catatan perjalanan orang asing sejak abad ke 7, seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, Laksamana Cheng Ho, dan lainnya. Baru kemudian, kaum iktelektual lokal melakukan penelitian terhadap Lamuri, berdasarkan literasi kuno dan penemuan prasasti berinformasikan Lamuri di luar negeri.

“Catatan tentang Lamuri kita dapat di Tanjore, India Selatan. Di situ ada prasasti bertuliskan bahwa Rajendra Chola I pernah sampai ke Kerajaan Lamuri,” sebut pemerhati sejarah Aceh, Adli Abdullah, dalam video Melawan Lupa Metro TV – Lamuri, Kejayaan yang Terlupakan.

“Kerajaan Lamuri juga disebut dalam catatan perjalanan Cheng Ho. Cheng Ho keliling Asia dan Afrika selama tujuh kali dan ketujuh-tujuhnya singgah di Lamuri, khususnya meminta izin konsumsi air laut tawar di Pulauh Weh, karena Sabang saat itu tunduk pada Kerajaan Lamuri,” sambungnya.

Arkeolog asal Skotlandia, Edmund Edwards McKinnon, bersama Mohammad Said penulis buku Aceh Sepanjang Abad pada akhir 1980-an melakukan penelitian situs-situs penting di Pulau Sumatera termasuk situs Kerajaan Lamuri. Salah satu publikasinya yaitu Beyond Serandib: A Note On Lambri At The Northern Tip Of Aceh, Indonesia 46, (Oktober 1988), 103-121.

Lamreh, sebut McKinnon, pernah menjadi pemukiman dan tempat yang cukup ramai sekitar enam sampai tujuh abad yang lalu. Keberadaan pemukiman kuno tersebut dibuktikan dengan temuan beling dan pecahan kaca kuno dari India Selatan, jenis-jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di Asia Selatan dan artefak lainnya.

KUTA Lubok secara topografi terletak di posisi yang sangat strategis. Di sayap kiri terdapat Pelabuhan Malahayati yang mulai berdenyut kembali usai dijadikan pelabuhan ekspor-impor oleh Pemerintah Aceh. Susunan Benteng Inong Balee bagai tato di bahu kiri Bukit Kuta Lubok. Sementara di kaki bukit, berdiri kokoh Benteng Kuta Lubok yang menjorok ke pantai.

Posisi itu juga membuat Kawasan Lamreh rentan terdampak bencana. Setidaknya tsunami 2004 telah merusak permukaan dua benteng tersebut. Namun, berabad-abad sebelumnya, tsunami telah mengikis aktivitas perdagangan internasional di kawasan Lamreh.

Pada abad 11, menurut arkeolog muda Aceh Deddy Satria berdasarkan hasil penelitiannya, Lamreh merupakan kawasan perdagangan segi tiga emas, bersama Kerajaan Barus dan Kerajaan Samudera Pasai. Juga pusat penyebaran agama Islam yang didatangi ulama-ulama dari jazirah Arab dan Persia. Kerajaan Lamuri yang tak terkalahkan saat itu ditaklukkan gelombang besar pada 14 dan 15. Bencana ini lantas membuat kota pelabuhan Lamreh ditinggalkan.

“Di kawasan Bukit Lamreh ini pernah terekam sebuah peristiwa besar, 600 atau 700 tahun yang lalu, yaitu peristiwa tsunami purba,” jelas Deddy Satria, dalam video Melawan Lupa Metro TV – Lamuri, Kejayaan yang Terlupakan. Dia memperlihatkan permukaan sedimen yang tersusun bagai benteng.

“Kita bisa melihat struktur secara vertikal, di sini ditemukan satu lapisan yang sangat berbeda dalam hal warnanya. Yang menurut penelitian arkeologis yang pernah dibuat di sini, menunjukkan adanya peristiwa tsunami purba. Lapisan ini mengandung lumpur dan sekaligus kerang yaitu pecahan-pecahan kecil dari kerang di lautan, yang terdeposit ketika peristiwa tsunami purba tersebut,” ujarnya.

Tsunami purba itu secara kronologis, jelasnya, pernah terjadi pada akhir abad 14 dan pertengahan abad 15. “Memang ukuran pemukimannya lebih luas, tidak hanya terbatas pada bukit-bukit di sini, tetapi juga jauh sekitar 200 atau 300 meter ke arah laut sekarang.”

Keterangan Deddy juga terbaca dalam penelitian Nurjannah. Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan Program Pascasarjana Unsyiah ini, pada 2012, mengkaji korelasi endapan sedimen tsunami dan kearifan lokal sebagai rekam jejak paleotsunami Aceh untuk upaya pengurangan resiko bencana.

Nurjannah merekonstruksi kejadian tsunami Aceh 1000 tahun yang lalu (sebelum tsunami 2004) melalui pendekatan sains, sejarah, dan wawancara dengan keturunan korban selamat dari bencana tsunami masa lampau di enam daerah di Aceh.

Dia melalui pendekatan sains, menemukan 5 lapisan sedimen tsunami. Hal ini menunjukkan terjadinya 5 kali gelombang tsunami di wilayah Aceh dalam kurun 10 abad silam. Dalam pendekatan sejarah pun diperolehnya persamaan waktu dan tahun kejadian gelombang besar di Aceh, yang terdapat dalam beberapa naskah kuno dan hikayat masyarakat Aceh.

Bourgeois (2009), tulisnya, sejak tahun 1980-an laporan dari beberapa pra-survei memperlihatkan bahwa jejak tsunami bukan hanya pasir yang terkikis, tetapi juga batu-batu besar dan puing-puing karang. Sejak 1990 sampai 2004, tidak ada keraguan bahwa tsunami mengikis endapan sedimen. Penjelasan ini setidaknya mendekati keterangan Deddy Satria soal tsunami purba di Kawasan Lamreh.

“McKinnon (1988) dalam Melianda (2009) mengutip naskah arkeologi penting di Lambri, yang disebut Pantai Lambadeuek, yaitu pantai cekung di pesisir pantai bagian barat daya Banda Aceh, sebuah naskah geografi Arab, Akhbar al-Sin Hind wal disebut Ramni, yang terletak di ujung barat laut Aceh dan menggambarkan situasi lokasi di lokasi ini sebelum abad ke 9 (yaitu sekitar 1000 tahun yang lalu) bahwa, pulau dicuci oleh dua laut-Harkand dan Salahit. Laut Harkand adalah Teluk Benggala, sementara Salahit adalah Selat Malaka,” tulis Nurjannah.

Ia juga mengemukakan, seorang musafari Cina, Wang Ta-yuan (1.349 AD/600 tahun yang lalu) dalam Meilianda (2009) menulis bahwa tempat ini adalah pusat perdagangan paling penting di Nan-wu-li yaitu utara ujung Aceh. Besar-gunung seperti gelombang lari menentangnya. Keterangan ini menurutnya sebuah bukti kronologis kegiatan tektonik dan kemungkinan besar tsunami terjadi sekitar 700 tahun yang lalu di beberapa daerah di Aceh yang juga dilanda tsunami 2004.

Lamreh kini tidak hanya kaya dengan sejarah Lamuri, tetapi juga bukti-bukti tsunami purba. Dua hal ini menjadi aset yang sangat berharga bagi Aceh di masa akan datang. Lalu, bagaimana dengan upaya perawatan situs Lamuri?

SAYA baru menyadari ‘sesuatu’ ketika pemetaan Situs Lamuri dilakukan pada 27 September – 12 Oktober 2014. Bahwa sejak 2011, saya sering sekali melewati Bukit Kuta Lubok saat pelesiran ke Pantai Lhok Me. Pantai berpasir putih ini berada di balik Teluk Lamreh, sekitar 2 km dari timur situs pemetaan.

Penelitian dan pemetaan tersebut melibatkan arkeolog dari Aceh, Sumatera Utara, dan Malaysia: Prof Dr Dato’ Muchtar bin Saidin (Kepala Pusat Penyelidikan Arkeologi Global University Sain Malaysia), Dr Husaini Ibrahim MA (Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah), Dr Suprayitno (Ketua Jurusan Program Pascasarjana USU Medan), Tgk Taqiyuddin Lc (ahli baca batu nisan), dan Deddy Satria (arkeolog muda Aceh). Pemetaan ini juga merupakan tindak-lanjut dari Memorandum of Agreement (MoA) antara Universiti Sains Malaysia (USM), Unsyiah dan Universitas Sumatera Utara (USU),  yang ditandatangani pada Februari 2014.

Mereka dibantu belasan anggota tim memetakan situs di lahan sekitar 200 hektare, memberikan penomoran batu nisan, serta meneliti usia pecahan artefak yang ditemukan tersebar di lokasi.

Husaini Ibrahim yang mengetuai tim menyatakan, Kerajaan Lamuri adalah cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam. Kesimpulan ini diperolah berdasarkan keberadaan ratusan batu nisan berbagai tipe dan jenis di lokasi. Epigraf pada ratusan batu nisan tersebut menunjukkan keberadaan sebuah kerajaan Islam terawal di Nusantara (mencakup kawasan Melayu di Asia Tenggara).

Pusat Kerajaan Lamuri kemudian mendapat serangan bertubi-tubi dari India dan Kerajaan Pedir (Pidie sekarang). Serangan ini memaksa kerajaan pindah ke Gampong Pande di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Gampong Pande selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Aceh. “Setelah Ali Mughayatsyah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil, baru kemudian lahir Kerajaan Aceh Darussalam,” sebut Husaini.

Dari beberapa kali penelitian, di situs Lamuri tersimpan jejak Hindu, Budha, dan Islam. Selama dua minggu, mereka menggali dan memetakan tapak (jejak_red) kerajaan, penyebaran batu nisan, keadaan lingkungan, dan kondisi situs saat ini.

“Saya perhatikan, tapak ini boleh menyumbang sesuatu yang amat besar kepada sejarah Aceh,” ujar Profesor Dato’ Mokhtar Saidin dalam video LAMURI: Grand Royal Seed.

“Aceh tengah menyediakan laporan yang lengkap, bukan arkeologi semata-mata, tetapi arkeologi saintifik. Untuk menunjukkan tapak ini tak ada lagi di tempat lain di Asia Tenggara. Inilah satu-satunya permulaan islam di Asia Tenggara. Di sini,” Dato’ menunjuk tanah yang sedang dipijaknya.

KEGEMBIRAAN terpancar di wajah Doktor Husaini ketika ketika dirilis hasil pemetaan seminggu kemudian, yang merupakan analisis para arkeolog: Husaini Ibrahim (Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah), Suprayitno (Fakultas Ilmu Budaya USU), dan Shaiful Shahidan, Shyeh SK, Mohd. Shahrul Saad, Rasydan Muhammad, Muhammad Ikhwan Harun dan Mokhtar Saidin (Pusat Penyelidikan Arkeologi Global USM).

Mereka menyimpulkannya dalam lima catatan penting. Pertama, ditemukan lebih dari 200 Nisan Aceh dengan berbagai bentuk, prasasti, hiasan, dan motif di Kawasan Kuta Lubok, Lamreh. Kedua, teridentifikasi faktor-faktor yang dapat mengancam perlindungan dan pelestarian Nisan Aceh yaitu pelapukan fisik (erosi, longsor, dan aktivitas antropogenik seperti penggundulan hutan untuk pertanian) dan pelapukan kimia. Ketiga, diperoleh titik-titik yang berpotensi untuk penggalian selanjutnya. Keempat, kesempatan mengadakan sarana pendukung di komplek makam.

Kelima, sebaran Nisan Aceh di Kuta Lubok. “Sebagian masih menyebar di Kuta Lubok, sementara kebanyakannya yang tidak utuh di Situs Lamuri tersebut terancam hilang,” jelas Husaini. Selain Nisan Aceh, ditemukan pula sebaran keramik di area Nisan Aceh, seperti tembikar, periuk, seladon/keramik cina, koin, dan artefak-artefak lainnya.

Penelitian selanjutnya, mereka usulkan penggalian penyelamatan sebagai perlindungan dan pelestarian total terhadap Nisan Aceh di Lamreh. Sebab Bukit Kuta Lubok terancam pelepasan ternak lokal (sapi dan kambing), perusakan, dan pengambilan atau pemindahan nisan dari satu tempat ke tempat lain. Erosi dan tanah longsor juga menjadi masalah serius terutama yang letaknya pada sisi jurang.

Situs Lamuri itu pada intinya membutuhkan dokumentasi yang komprehensif untuk menjamin ketersediaan data Nisan Aceh dalam jangka panjang. “Yang penting adalah situs diselamatkan dengan apa jua cara. Dan ini sangat memerlukan semua orang, semua jabatan, semua bahagian, termasuk pemerintah untuk membantu, menggunakan apa saja undang-undang yang ada, untuk menyelamatkan tapak ini,” harap Mokhtar Saidin.

Benar, kata arkeolog itu. Bahkan Salman Varisi, salah seorang seniman Aceh terinspirasi untuk meriwayatkan Situs Lamuri dalam sebuah lagu.

Lamuri… Kini kujaga
Lamuri… Kini kupelihara
Sebagai situs tua warisan dunia
Mungkin ini juga Lamuria…

NOTE: Sebagian data dari tulisan ini penulis kutip dari berbagai sumber.[] Makmur Dimila