Sejarah Banda Aceh Ibu Kota Sumatera Utara
Sejarah Banda Aceh Ibu Kota Sumatera Utara
Akibat agresi Belanda kedua ke Sumatera, pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dipindahkan dari Sibolga ke Banda Aceh. Begitu juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara, mereka bersidang di Tapaktuan dan Banda Aceh.
Sejarawan Aceh, Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken menjelaskan, untuk berjalannya pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dengan baik, Gubernur Sumatera Utara MR SM Amin di Banda Aceh, pada 15 Januari 1949 melakukan pengangkatan dan pelantikan sejumlah pejabat.
Pengangkatan pejabat tersebut dilakukan dengan Ketetapan Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh No.12-GSO-P-49. Mereka yang dilantik hari itu adala: Moeid sebagai kepala kantor pembantu perbendaharaan negara, Darwis sebagai kepala kantor pengawas kas negara, Djohan Abbas sebagai kepala kator kas negara, Abdoel Moenir dan Noerdin sebagai pengatur usaha pada kantor pembantu bendahara negara.
Hal yang sama kembali dilakukan Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh pada tanggal 21 Januari 1949. Hari itu sejumlah pejabat kembali diangkat melalui ketetapan No.29-GSO-P-49, ketatapan ini berlaku surut, dinyatakan mulai berlaku sejak 1 Januari, meski ditetapkan pada 20 Januari.
Mereka yang dilantik melalui keputusan tersebut adalah: R Hadri, Wakil Kepala Jawatan Pertanian Perikanan Keresidenan Aceh, diangkat menjadi Wakil Kepala Jawatan Pertanian Perikanan Sumatera Utara merangkap Wakil Kepala Jawatan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Utara.
Ali Hasymi Kepala Jawatan Sosial Keresidenan Aceh diangkat menjadi Kepala Jawatan Sosial Provinsi Sumatera Utara. Karim Muhammad Doerjat, Kepala Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Keresidenan Aceh diangkat menjadi Kepala Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara.
Kemudian Dr Muhammad Majoeddin Kepala Jawatan Kesehatan Keresidenan Aceh diangkat menjadi Wakil Kepala Jawatan Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Dr Muhammad Thahir, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Keresidenan Aceh diangkat menjadi Wakil Kepala Jawatan Pengairan Jala-jalan dan Gedung Provinsi Sumatera Utara.
Sehari kemudian, yakni pada 22 Januari 1949, Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh juga mengeluarkan Maklumat No.2-GSO-1949. Isinya tentang pemberitahuan kepada semua penduduk di Banda Aceh bahwa mulai tanggal 1 Februari 1949, akan dilakukan pemeriksaan ulang segala jenis alat takaran, ukuran, timbangan, dan perkakas timbangan. Ulang tera 1949 bertempat di Kantor Tera, Jalan Keraton, Banda Aceh.
Penduduk terutama pedagang diminta kesadaran untuk membawa segala jenis alat timbangan atau alat ukur untuk dikir ulang. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecurangan di pasar, dan memberi kepastian kepada masyarakat dalam transaksi jual beli di pasar.
Pemindahan ibu kota dan pemerintahan Provinsi Sumatera Utara ke Banda Aceh juga dilakukan untuk memaksimalkan hubungan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan para diplomat perwakilan Indonesia di luar negeri. Aceh saat itu menjadi satu-satunya penghubung ke luar negeri, setelah daerah lain dikuasai oleh Belanda.
Pada 27 Januari 1949, wakil-wakil Indonesia di luar negeri melakukan hubungan dengan Aceh, meminta data/dokumen dan dana untuk perjuangan diplomasi di luar negeri. Para wakil Indonesia di luar negeri yang aktif melakukan hubungan dengan Aceh antara lain adalah: Mr R Oetojo di Singapura, Abdul Kadir di Afghanistan, Isak Mahdi di Thailand, Marjoenani di Burma (Myanmar), Idham di Pakistan, Dr Soedarsono di India, H Rasjidi BA di Mesir.
Hal yang sama juga dilakukan duta keliling Indonesia di luar negeri LN Palar yang juga Menteri Luar Negeri PDRI. Ia terus melakukan surat menyurat dengan Residen Aceh. Saat itu Aceh juga menjadi penghubung antara pemerintah pusat PDRI dengan AA Maramis dan delegasi Indonesia lainnya pada konferensi Asia di New Delhi, India.
Tentang pemindahan ibu kota Sumatera Utara dan pusat pemerintahan PDRI ke Banda Aceh itu juga bisa dibaca dalam buku Kisah Dari Pedalaman yang ditulis Kolonel Arifin Pulungan, juga dalam buku Jihad Akbar Medan Area yang ditulis oleh Amran Zamzami, serta buku Aceh Daerah Modal yang ditulis AK Jacobi dan beberapa buku lainnya.[Iskandar Norman]