Melacak Jejak Penguasa Sabang Di Masa Lampau
sejarah sabang, sejarah kota sabang
Sekitar tahun 1422. Kapal Baochuan dari Armada Khazanah Tiongkok milik Laksamana Cheng Ho membuang jangkar di Gunung Mao. Ia dan awak kapalnya menjejakkan kakinya ke Puolo We atau kita mengenalnya sekarang sebagai Pulau Weh dengan ibukotanya Sabang.
Laksamana Cheng Ho bersama awak kapalnya dijumpai oleh para raja dari Kota Sabang. Para Raja yang menjumpai Cheng Ho dan rombongan berjumlah 30 orang. Singkatnya, Cheng Ho pun meminta izin mengambil air di Danau Aneuk Laot. Kemudian, Cheng Ho dan armada Kapal Khazanah Tiongkok pun kembali melanjutkan perjalanannya menjalin hubungan kerjasama antara Kerajaan Cina yang saat itu dipimpin oleh Dinasti Ming dengan raja-raja di Nusantara.
Kisah di atas menjadi menarik karena pada masa lalu, meskipun Pulau Weh menjadi bagian dari Kerajaan Aceh yang terletak di Pulau Sumatera, Pulau Weh telah dipimpin oleh para raja kecil. Dari berbagai literatur yang penulis dapatkan, istilah raja-raja kecil ini merujuk kepada Uleebalang (hulubalang) Kesultanan Aceh Darussalam.
Berangkat dari kisah inilah, saya berusaha mencari tahu tentang sejarah pulau tempat saya lahir ini.
Menurut catatan yang ada, Pulau Weh di masa lampau berstatus sebagai nanggroe wakeuh (tanah wakaf). Pada masa itu Sultan Aceh mengutus Panglima Paduka Sinara sebagai wakil Sultan dalam mengatur pemerintahan di Sabang. Beliau tinggal di Gampong Paya. Gampong Paya Seunara sendiri kabarnya berasal dari gelar Panglima Paduka Sinara.
Panglima Paduka Sinara adalah jabatan pemerintahan pada masa Kesultanan Aceh. Hal ini tercatat dalam buku “Adat Meukuta Alam,” yang disusun oleh Tuanku Abdul Jalil pada tahun 1991.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, jabatan Panglima Paduka Srinara ini masih tetap dipakai. Hal ini berdasarkan bukti arsip stempel pengesahan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1887 yang dimiliki oleh keluarga turunan Panglima Paduka Srinara di Pulau Penang, Malaysia. Dalam salinan stempel tersebut tertulis: “HOOFD VAN HET DISTRICT PAJA PANGLIMA PADUKA SRI NARA.”
Jejak rekam Panglima Paduka Sri Nara sendiri memiliki riwayat panjang. Panglima Paduka Sri Nara tercatat menjadi pelatih bagi militer Kesultanan Aceh. Termasuk ikut melatih Panglima Nyak Makam. Ia juga menjadi wazir (menteri) dan kepala yang mengurus tanah wakaf, salah satunya adalah Pulau Weh, seperti yang penulis jelaskan di atas. (Marwati Djoened, dkk, “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4,” hal. 145-146.)
Selain Paduka Srinara atau terkadang ditulis Panglima Paduka Sinara, ada lagi Uleebalang yang memerintah kota Sabang bernama Teuku Abbas.
Teuku Abbas adalah Uleebalang yang memerintah Sabang pada periode tahun 1904-1942. Bila melihat periodeisasi ini, maka Teuku Abbas pernah menjadi Uleebalang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Nama panjang beliau adalah Teuku Abbas Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro bin Imam Mansur bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid.
Keluarganya secara turun temurun menjadi Uleebalang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh. Di Sabang, Teuku Abbas membawahi mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Mukim Ie Meulee sendiri pada saat itu berada dalam wilayah Mukim Lamnga. Sementara Mukim Lamnga berada dalam wilayah XXVI Mukim Aceh Besar.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, Sabang berada dalam kekuasaan sebuah Landschaap (Kecamatan) III Mukim Iboih, yang saat itu dipimpin oleh seorang Uleebalang bernama Teuku Muhammad Daud.
Makam Panglima Moeda Setia dan anaknya di Desa Balohan. Dok. Pribadi
Kemudian, di Gampong Balohan ada Uleebalang bernama Teuku Nyak Daud atau Teuku Muhammad Daud yang menjabat posisi sebagai Panglima Muda Setia
Panglima Muda Setia T Nja' Daoed memakai rencong bersarung putih yang disarungkan ditengah baju
Pada masa Kerajaan Aceh Darusalam beliau ditugaskan untuk mengelola Sabang dan bertugas di Balohan yang saat itu disebut Negeri Balohan.
Pada saat agresi penjajah Belanda kedua ke Aceh, beliau bersama sebagian Uleebalang lainnya menyerah kepada Belanda dan menandatangani Korte Verklaring dan menjadi pejabat penjajah Belanda di Aceh dengan status tetap sama, dimana para Uleebalang ini masih menjadi pemimpin Aceh 3 Sagoe. Menurut sumber Belanda, T Nja’ Daoed digaji 50 poundsterling setiap bulannya untuk mengelola Pulau Weh
Sheikh Hubaillah Junaidi Alhabsyi
Sementara jauh sebelumnya, tepatnya pada masa Kerajaan Lamuri, yang mengatur pemerintahan di Kota Sabang adalah Syeikh Hubaillah Junaidi Alhabsyi, warga negara Daulah Abbasiyah. Syeikh Hubaillah ditunjuk langsung oleh Raja Lamuri kala itu untuk mengelola Pulau Weh.
Demikianlah sekilas tentang sejarah para penguasa di Pulau Weh. Eksotisme Sabang telah menarik minat banyak mata. Dari sekedar kampung nelayan biasa, menjadi tempat buangan para narapidana hingga menjadi surga dunia. Sangking strategisnya Pulau Weh, para penguasanya pernah menawarkan Sabang sebagai hadiah untuk Amerika Serikat, bila pemerintah AS mau menolong Aceh dalam perang melawan Belanda. Namun, hal ini tidak pernah terjadi dan AS tidak pernah membantu dalam Perang Aceh.
Telah banyak orang yang mengelola pulau ini. Mereka datang dan pergi silih berganti. Sabang telah mengalami berbagai dinamika. Dari dikuasai oleh Kerajaan Lamuri hingga menjadi basis bagi armada Jepang dan NAZI Jerman. Tentunya harus ada penelitian lanjutan dari sejarawan dan peneliti terkait silsilah penguasa di Kota Sabang atau Pulau Weh. Seperti bagaimana peran mereka di Sabang, lalu apa yang sudah mereka torehkan di Sabang. Begitupula dengan sejarah ulama yang berjumlah 44 di Sabang, yang saat ini juga masih banyak diliputi misteri.
Aspek sejarah adalah aspek yang juga menarik untuk dikulik. Karena aspek ini menarik juga dilihat bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke Sabang. Aspek wisata sejarah sama seperti aspek pemandangan Sabang yang sama-sama aduhai. (toni)