Menapaktilasi Sejarah Sabang
Kondisi pemandangan darat dan bawah laut Sabang yang eksotis tentunya menjadi nilai tawar bagi pariwisata di Sabang. Namun demikian, wisata sejarah juga menjadi poin plus lainnya yang juga harus dikembangkan di Sabang. Sehingga menjadikan Sabang sebagai destinasi wisata sejarah bagi para peneliti dan wisatawan.

Sisi sejarah ini sendiri jarang di eksplorasi oleh para wisatawan lokal, padahal wisata sejarah Sabang tak kalah seksi dengan pemandangan indah Pulau Weh yang masih perawan
Oleh Antoni Abdul Fattah
Pulau Weh sendiri tercatat telah sering masuk catatan tua sejarah dunia. Nama Sabang sendiri sebagai nama ibukota Pulau Weh sendiri disebut-sebut berasal dari kata dalam bahasa Arab, Shabagh yang bermakna gunung meletus.
Catatan tentang Pulau Weh berada dalam wilayah Kerajaan Lamuri di dapat dari catatan Laksamana Cheng Ho yang singgah pada tahun 1400-an, diketahui bahwa Pulau Weh telah ditinggali oleh 20-30 kepala keluarga. Para kepala keluarga itu menyebut dirinya sebagai raja. Menurut catatan Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA), Kerajaan Lamuri adalah kota pelabuhan terpenting di gerbang maritim Asia Tenggara. Jadi wajar saja bila kemudian Sabang juga dipilih sebagai wilayah kekuasaan kerajaan di wilayah Gampong Lamreh tersebut.
Beberapa abad sebelumnya, tepatnya sekira tahun 1200-an Pulau Weh pernah dikuasai oleh Kerajaan Lamuri. Untuk menguatkan pengaruh Sabang sebagai wilayah teritorial Kerajaan Lamuri, Syeikh Hubaillah Junaidi Al-Habsyi mendapatkan mandat dari Kerajaan Lamuri sebagai Wali Pulau Weh.
Fauzan Azima mencatat, pada tahun 1200-an, ketika Kerajaan Aceh masih belum bersatu, Kerajaan Lamuri yang berpusat di Aceh Besar, membentuk perwakilan kerajaan yang berpusat di wilayah barat daya Pulau Weh, yang merupakan pelabuhan tempat bersandar kapal-kapal layar jenis galias bermuatan sekitar 25 ton dari berbagai negara untuk berdagang rempah-rempah. Sheikh Hubaillah sebagai Wali Negeri bertugas menjalankan sistem pemerintahan moderen di Pulau Weh, serta memungut pajak dari kapal-kapal asing yang melakukan transaksi perdagangan rempah-rempah. Di samping itu Sheikh Hubaillah sebagai ulama yang mengajarkan ilmu agama dan sebagai tabib atau dokter. Pulau Weh pada masa itu terkenal dengan penghasil lada dan belerang. Makam Syeikh Hubaillah dapat kita lihat di Gampong Jaboi. (AJNN, 23/12/2018).
Setelah lama berada dibawah kekuasaan Kerajaan-keraja Tidak hanya sampai disitu saja, posisi Sabang pun berubah menjadi Pelabuhan Bebas pada tahun 1896. Lalu pada tahun 1899, atas usulan pengusaha Ernst Heldring status kota Sabang diubah menjadi pelabuhan bertaraf internasional. Kemudian oleh Nederlandsche Handel Maatschappij, Atjeh Associate diubah menjadi N. V. Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia (Sabang Seaport and Coal Station of Batavia) yang kemudian dikenal dengan Sabang Maatschappij. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Februari 1948, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan uang gulden khusus untuk Pulau Weh. Uang ini dijadikan alat transaksi khusus wilayah Sabang. Uang itu ditandatangani oleh Residen Sabang M Sanusi V dan Komisi Belanda Vander P. Foto lembaran uang ini dapat kita saksikan di dalam Museum Sabang.
Pada tahun 1911, Sabang juga pernah menjadi tempat karantina Jamaah Haji asal Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda menjadikan Pulau Rubiah sebagai tempat karantina bagi Jamaah Haji. Di pulau ini, selama menunggu rute kapal dari Colombo-Jeddah, Pelayanan haji dari pemerintah kolonialis Belanda ini adalah bagian dari politik haji yang disuarakan oleh Penasehat Kerajaan Belanda, Christian Snouck Hurgronje. Snouck melihat kebebasan beribadah haruslah diberikan oleh pemerintah kolonial selama tidak membawa-bawa persoalan politik. Ketika soal Islam menyentuh soal politik barulah hal itu harus dihancurkan. Ia menyerukan untuk memisahkan agama Islam dari politik. Dalam persoalan yang “murni ibadah”, penguasa harus tetap netral. Tetapi jika timbul penyebaran Islam sebagai ideologi, maka harus ditumpas dengan kekuatan militer yang represif. Aspek politik ini tercermin dalam pembangunan Rumah Sakit Jiwa di Sabang untuk para mujahidin Aceh. Mayor Kolonel Dr. Hisnindarsyah, yang pernah menjabat Kepala Rumah Sakit TNI-Al J. Lilipory Sabang dalam sebuah tulisannya di grup Facebook, Sabang Heritage Community menulis:
“...Belanda sengaja membangun suatu tempat yang diberi label Rumah Sakit Jiwa. Hal ini dilakukan untuk menutupi maksud Belanda yang sesungguhnya yaitu: mengasingkan dan mematahkan semangat perjuangan mujahid Aceh. Belanda sengaja menangkap para mujahid Aceh, mengikuti saran Dr. Snouck, mereka tidak dibunuh namun disembuhkan dari penyakit kejiwaan yang diidapnya.”
“Dr. Snouck menetapkan diagnosa kelainan jiwa ini sebagai: Syndrome Atjeh Murder, suatu gangguan kejiwaan yang mensikapi perilaku jihad pejuang Aceh yang selalu berhasrat untuk membunuh tentara Belanda sebagai perilaku yang mendatangkan pahala dan bila mati karena upaya membunuh tentara Belanda itu sebagai syahid akan mendapatkan surga, ini dianggap menjadi suatu sindrome gangguan kejiwaan. Oleh karena itu, para pejuang Aceh yang berhasil ditangkap oleh Belanda, diasingkan ke P.Weh ini. Mereka dianggap mengalami gangguan kejiwaan yang keberadaannya disatukan dengan pasien yang memang benar-benar mengalami penyakit gangguan jiwa yang didatangkan dari berbagai wilayah di Sumatera seperti Medan, Deli bahkan dari pulau Jawa. Mereka dicampur, disatukan dengan para mujahid Aceh dengan tujuan untuk mematahkan semangat perjuangan dari para pejuang Aceh tersebut. Saat itu tidak kurang dari 1500 orang dirawat oleh Rumah Sakit ini...”
Rumah Sakit Jiwa Kota Sabang yang kini menjadi Rumah Sakit TNI AL (RSAL) J.Lilipory
Bangunan RSJ mulai dibangun pada tahun 1904 oleh Sabang Maatschappij dan baru difungsikan pada tahun 1920.
Pelabuhan ini digunakan oleh KNIL Belanda, sebelum direbut oleh pasukan Jepang pada tahun 1942. Pelabuhan dan kilang minyak tersebut dibom oleh pasukan Sekutu
Pada saat terjadi perang antara Jepang dan sekutu (Perang Dunia II), Sabang dijadikan sebagai basis bagi armada Kerajaan Jepang. Menurut catatan yang ada, sejak tanggal 14 Juli 1942, Sabang telah dijadikan sebagai markas bagi angkatan ke sembilan Armada Expeditionary-1 Kondisi pemandangan darat dan bawah laut Sabang yang eksotis tentunya menjadi nilai tawar bagi pariwisata di Sabang. Tercatat, pemandangan bawah laut Pulau Weh pernah masuk daftar 20 wisata bawah laut di Indonesia versi National Geographic Traveler.
Namun demikian, wisata sejarah juga menjadi poin plus lainnya yang juga harus dikembangkan di Sabang. Ini pula yang penulis lihat sedang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Sabang. Peresmian Museum Abad Kejayaan Sabang adalah titik awal dari wisata sejarah ini. Penulis sendiri sebagai peminat sejarah sangat mengapresiasi dan menyambut baik langkah menjadikan Sabang sebagai destinasi wisata sejarah.
Nah, bagi anda yang diketahui sebagai sejarawan atau peminat sejarah nasional Indonesia jangan ragu untuk berkunjung ke Sabang. Ada banyak destinasi wisata sejarah yang dapat di kunjungi disini sebagai pemuas dahaga wawasan sejarah anda.[toni]