Naik Kereta Perintis, Tut..Tut...Tut...

Naik Kereta Perintis, Tut..Tut...Tut...

Naik Kereta Perintis, Tut..Tut...Tut...

WAJAH-wajah penumpang kecil menyiratkan tanda tanya saat memandangi gerbong putih kereta api perintis. Sesekali mereka saling melempar pandang dan tertawa kecil. Ada yang mencoba memegang badan kereta. Namun keinginan itu terhenti setelah mendengar suara larangan dari mulut seseorang wanita, mungkin ibunya. Saat seluruh penumpang dipersilakan naik ke atas Kereta Api Perintis Cut Mutia oleh operator stasiun, langkah-langkah kecil itu berlomba memanjat anak tangga pertama dengan tumit dan bergegas mencari tempat duduk biru yang disusun memanjang di sisi kanan dan kiri gerbong. Ini adalah moda transportasi baru bagi masyarakat Aceh modern. Cut Meutia hanya dipersiapkan untuk menempuh jarak sekitar 11 kilometer, dari Muara Batu-Bungkaih-Krueng Geukeuh. Kereta api ini resmi beroperasi November tahun lalu dengan sebuah seremoni yang dihadiri oleh petinggi perusahaan itu dan pejabat daerah. Kehadiran ular besi ini jelas menjadi sebuah hiburan bagi banyak keluarga di kawasan itu. Terutama di hari-hari libur dan akhir pekan. Ini adalah cara berlibur yang murah dan mudah. Untuk sekali perjalanan, penumpang hanya dikenai tiket seharga dua buah permen karet; Rp 1.000. Bahkan pengelola kereta masih menggratiskan ongkos untuk anak berusia di bawah tiga tahun. Satu di antaranya adalah Ziaulrahman, penumpang asal Kutablang, Bireuen. Bersama lima anggota keluarganya, dia sengaja datang ke Krueng Mane, Aceh Utara hanya untuk merasakan sensasi naik kereta api. “Kami dari Kutablang sengaja ke sini mau naik kereta api. Di tempat kami, relnya belum siap (terpasang),” kata Ziaulrahman kepada AJNN, Sabtu (18/2). Perjalanan 30 menit di atas kereta api juga cukup nyaman. PT KAI melengkapi dua gerbong yang beroperasi itu dengan 64 kursi plastik dan pendingin udara (AC). Kebersihan di dalam gerbong juga terjaga. Di stasiun, para penumpang juga dapat bersantai saat menanti kedatangan kereta di ruang tunggu yang selesa. Hanya ternak warga berkeliaran di sepanjang lintasan kereta perintis sedikit mengganggu perjalanan. Masinis tak bisa memacu kereta dengan leluasa. Tak jarang masinis menghentikan laju saat melintasi permukiman. Bagi anak-anak yang girang, ini bukan masalah. Di sepanjang jalan, mereka bermain dan bernyanyi, “naik kereta api, tut...tut...tut...” Penulis: Muhammad Azkia